Benteng Lohayong
Benteng Peninggalan Portugis
Yang dibangun pada abad XV
oleh Pater Antonio da Crus, OP yang selesai diabngun pada tahun 1556.
Berada pada ketinggian 10 m
diatas permukaan laut dengan panjang 72 m dan
lebar 45 m.
Terletak di desa Lohayong,
Solor.
|
BENTENG LOHAYONG ( BENTENG PENINGGALAN PORTUGIS ) |
Pada abad ke-16 & 17, selama
kira-kira satu abad, Desa Lohayong merupakan pusat kawasan perdagangan laut.
Pada 20 April 1613, ketika Pieter Both menjabat sebagai Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, benteng tersebut direbut dari Portugis di bawah komando kepala
regu Apolonius Schot. Ketika itu ada sekitar seribu orang di dalam benteng.
Sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Setelah berhasil merebut benteng,
Schot menyerahkan komando benteng kepada Kapten Adriaen van der Velde, kemudian
dia memberinya nama Henricus. Setelah itu Schot kembali ke Batavia, dan tak
lama kemudian ia meninggal di sana. Saat itu perdagangan komoditas kayu cendana
sedang naik. Pada 13 Oktober 1615, perdagangan komoditi kayu cendana tidak lagi
menguntungkan. Hal ini membuat Dewan Hindia Belanda memutuskan untuk
mengosongkan benteng Henricus dan membumiratakannya. Pada 1618, Benteng
Henricus dibangun lagi oleh Van Raemburch. Ia adalah kawan dekat Jan
Pieterszoen Coen. Ia membekali Raemburch sepucuk surat untuk disampaikan kepada
para pendukungnya di Solor. Dalam surat itu Coen meminta maaf, karena
sebelumnya menghancurkan benteng Henricus, dan mohon agar para pendukungnya
bersedia membantu pembangunan kembali. Para buruh pribumi diberi upah setengah
kilogram beras per hari, sedangkan para sukarelawan Belanda diperbolehkan
mengambil jatah yang lebih banyak. Benteng baru adalah redut yang dapat
menampung 30 atau maksimal 40 serdadu. Pembangunannya dilaksanakan sehemat
mungkin. Menurut Coen, redut itu berbentuk segi empat dengan empat sudut. Redut
akhirnya ditempati oleh 23 tentara Belanda dan 80 warga Solor yang merupakan keluarga
besar seorang penguasa pribumi bernama Kitchil Protavi, dan 17 orang Cina. Pada
1622, seorang penguasa baru dilantik di benteng Henricus, yaitu Kepala Pedagang
yang bernama Jan Thomasz Daijman. Pada akhir 1625 ia malah bergabung dengan
Portugis di Larantuka (Flores), ketika utusan VOC Komandan Jan Pietersz Reus
tiba di Solor. Sebelum Reus wafat, dia menunjuk Jan de Hornay sebagai gantinya.
Kapten Elye Ripon seorang
warga negara Swedia, yang menjadi pimpinan armada Kumpeni berhasil menghalau satu kapal fregat
Portugis, yang kebetulan berlayar di pelabuhan Larantuka. Oleh karena
keberhasilan ini, mereka disambut hangat saat tiba di Benteng Henricus (Solor)
oleh raja/penguasa setempat yang datang bersama dua ratus serdadu bersenjata
lengkap. Juga ada seratus gadis yang disuguhkan kepada Ripon dan serdadunya.
Pada 1628, J P. Coen kembali menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Dia berpendapat, perdagangan di kawasan Maluku, Ambon, Seram dan Solor serta
Timor perlu dilindungi dari orang-orang Makasar. Sementara itu di Solor terjadi
konflik antara orang kaya Kitschil Protavi melawan dua orang kaya dari pulau lain
yang didukung Portugis di Larantuka. Dalam konflik itu 8 orang Belanda tewas,
sehingga mau tidak mau VOC terseret. Serentetan perang kecil terus terjadi
antara kelompok yang berseteru. Penguasa Belanda di Solor, De Hornay,
mengusahakan semacam gencatan senjata dengan pihak Portugis di Larantuka. Pada
Desember 1628, di Batavia diputuskan bahwa redut Henricus di Solor dikosongkan
saja, dan kegiatan perdagangan dilakukan dari kapal-kapal di perairan
sekitarnya. Gencatan senjata dengan pihak Larantuka dijadikan alasan oleh VOC
bahwa Redut Henricus tidak diperlukan lagi. Gubernur Jenderal mengutus seorang
kepala pedagang yang bernama Gregory Cornelisz ke Solor. Ia ditugasi untuk
meneliti kegiatan De Hornay dan membumiratakan benteng Henricus. Pada 1645,
Kitchil Protavi meninggal dan digantikan oleh istrinya, Injay (atau Nyai)
Chili. Ia merupakan wakil terkemuka dari kelompok penduduk di kawasan tersebut.
Sementara itu, di Benteng Henricus diangkat Letnan Hendrick Hendricksz van
Oldenburgh, yang dibantu 34 serdadu, beberapa meriam dan sejumlah amunisi. Akan
tetapi van Oldenburgh dinilai kurang tegas, sehingga diganti oleh Kepala
pedagang Hendrick ter Horst yang mendesak Gubernur Jenderal agar mengirimkan
bantuan militer ke Solor untuk menumpas Larantuka yang dikuasai Portugis. Pada
Mei 1654, Ter Horst diijinkan kembali ke Batavia, dan digantikan oleh Kapten
Jacob Verheijden, yang tak lama kemudian tewas dalam peperangan melawan tentara
Portugis di Amabi (di seberang Kupang). Pada 1657, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
memberi surat kepada Injay Chili yang berisi kekecewaan, karena Injay dinilai
kurang membantu pihak Belanda dalam pertempuran, dan juga dalam memelihara
Benteng Henricus. Surat itu dibalas oleh Injay Chili dalam bahasa Melayu, yang
juga disertakan terjemahannya dalam bahasa Belanda; antara lain berisi
keheranan mengapa ia dinilai kurang membantu Belanda. Juga dikatakan bahwa ia
bersama rakyatnya keberatan untuk dipindahkan ke pulau Roti. Alasannya adalah
sudah terbiasa hidup di pulau Solor yang dikuasai VOC. Selain itu, pulau Roti
juga berada di bawah VOC, jadi tidak ada perbedaan. Oleh sebab itu mohon agar
ia bersama rakyatnya diperbolehkan tetap tinggal di Solor dan agar diberi
amunisi serta senjata untuk mempertahankan pulau tersebut dari serangan Portugis.
(In the
16th and 17 th centuries, for approximately one century long, Lohayong Village
was the centre of sea trade activities. On April 20, 1613, when Pieter Both was
the Governor General of Dutch Indies, the fort was seized from the Portuguese
by a group under the commando of Apolonius Schot. At that time there were about
one thousand people inside the fort; mostly women and children. After
succeeding to take over the fort, Schot handed it over to Captain Adriaen van
der Velde and gave it the name Henricus; Schot then returned to Batavia where
he died shortly after his arrival. At the time the trade of sandlewood was
quite booming. However, on October 13, 1615 the sandlewood trade was no more
lucrative which prompted the Dutch Indies Council to abandon and destroy Fort
Henricus. In 1618, Fort Henricus was rebuilt by Van Raemburh, a close ally of
Jan Pieterszoen Coen who gave Raemburh a letter which he was to hand over to
the supporters in Solor. In the letter Coen beg for pardon at having destroyed
Fort Henricus and implore his supporters to assist in the rebuilding of the
fort. The indigenous workers were given half a kilogram of rice each per day,
while the Dutch volunteers were allowed to take more. The new fort is a redoubt
that could accommodate 30 to maximally 40 soldiers and the construction was
executed as cheaply as possible. According to Coen, the redoubt is square, with
four corners. In the end, the redoubt was occupied by 23 Dutch solders and 80
Solor inhabitants, members of the big family of indigenous leader, Kitchil
Protavi, and 17 Chinese people. In 1622, a new commander was appointed in Fort
Henricus, the Head trader Jan Tohmasz Daijman. At the end of 1625 he joined the
Portuguese in Larantuka (Flores) when VOC envoy, Jan Pietersz Reus, arrived at
Solor. Before Reus died, he appointed Jan de Hornay as his successor. Captain
Elye Ripon, a Swedish national who was the leader of VOC navy, succeeded to
drive away the Portuguese warship which happened to sail into Larantuka port.
Because of this victory, the Dutch were warmy greeted when they arrived at Fort
Henricus (Solor) by the local king, who came with two hundred armed soldiers
plus one hundred maidens who were offered to Captain Ripon and his soldiers. In
1628, JP Coen was again appointed as Governor General for Dutch Indies. He
considered it necessary to protect the trade activities in the Moluccas, Ambon,
Seram, Solor and Timor from Makassar marauders. In the meantime, a conflicet
broke out in Solor between the rich man Kitschil Protavi against two other rich
men from another island who were supported by the Portuguese in Larantuka. In
the conflict, 8 Dutch soldiers died, thus implicating VOC in the fight. A
series of small wars flared up between the opposing groups. The Dutch commander
in Solor, De Hornay, managed to hold a kind of cease-fire with the Portuguese
in Larantuka. In December 1628, it was decided in Batavia to abandon Redoubt
Henricus in Solor, and trade activities were conducted by the ships sailing in
the surrounding waters. VOC made use of
the ceasefire with Larantuka to abandon Redut Henricus and he sent Gregory
Cornelisz, the head trader as an envoy to Solor with the task to inspect the
activities of De Hornay and to burn down Fort/Redoubt Henricus. Kitchil Protave
died in 1645 and was succeeded by his wife, Injay (or Nyai) Chili who was the
leader of the people in the area. In the meantime, Lieutenant Hendrick
Hendricksz van Oldenburgh was appointed as commander in Fort Henricus; he had
34 soldiers, a number of cannons and ammunition. However, Oldenburgh was
considered not firm enough and was succeeded by the head trader Hendrick ter
Horts who urged the Governoet General to send military assistance to Solor, to
seize Larantuka which was under Portuguese rule. In May 1654, Ter Horst was
allowed to return to Batavia and was succeeded by Captain Jacob Verheiden who
was shortly killed in a war against the Portuguese at Amabi (across Kupang). In
1657, the Dutch Governor General sent a letter fo Injay Chili in the Malay language,
where he expressed his disappointment because Injay was considered not to
provide enough support to the Dutch during the war against the Portuguese and
in defending Fort Henricus. Injay Chili replied the letter with a letter in
Malay, provided with a Dutch translation, expressing her astonishment at being
accused of not providing enough support to the Dutch. She also wrote that she
and her people were against being moved to Roti island sine they were already
used to living at Solor under VOC. Moreover, Rote island is also under VOC, so
there would be no difference; therefore she implored to be allowed to stay in
Solor, and be given enough ammunition and weapons so she and her people could
defend the island from Portuguese attacks.)